“Kemerdekaan merupakan hak segala bangsa” begitulah sepenggal kutipan yang ada di dalam naskah UUD 1945 negara kita. Kalimat itu menegaskan bahwa setiap individu berhak memiliki dan memilih sebuah komunitas yang di sepakati bersama, kemudian memunculkan sebuah kelompok untuk menjalani tata kehidupan sesuai dengan tata kelola yang telah di sepakati.
Hal itu merupakan implementasi dari rasa kemanusiaan dan keadilan, yang tertuang pula dalam alinea pertama Undang-Undang Dasar. Terdapat 4 paragraf yang tertuang dalam naskah UUD negara kita, semua berbicara mengenai hal-hal dasar manusia ( khususnya Indonesia ) yang berpegang teguh dalam 5 dasar sila.
Dalam jurnal yang diterbitkan oleh Jazim Hamidi ( Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, 2020 ) beliau menuliskan apakah naskah proklamasi dapat di kualifikasi dalam dua bentuk Grundnorm atau Staatsfundamentalnorm. Penulis mengungkapkan di halaman 70 bahwa salah satu cara untuk memaknai naskah proklamasi yaitu menggunakan teori hermeuneutika. Teori ini merupakan alternatif yang tepat untuk membedah meskipun usaha interpretasi harus dalam satu koridor penafsiran yang utuh antara makna yang tersirat dan tersurat.
Masih di jurnal yang sama, penulis mengungkapkan bahwa Ir. Soekarno memaknai kemerdekaan sebagai politieke onafhankelijkheid, political independence tak lain dan tak bukan ialah satu jembatan emas kita menyempurnakan kehidupan masyarakat. Berangkat dari hal yang disampaikan oleh Ir. Soekarno tersebut penulis jurnal menafisiri bahwa kemerdekaan merupakan sesuatu yang harus selalu diperjuangkan. Proses kemerdekaan itu tidak pernah usai, ia harus terus diisi, dimaknai atau kalau perlu diberi makna baru dari waktu ke waktu. Jadi, ruh kemerdekaan itu berkarakter dinamis, progresif, inovatif dan transformatif.
Setelah naskah proklamasi dibuat dan di umumkan kepada masyarakat umum, ini mengakibatkan pada implikasi hukum :
- Naskah proklamasi sebagai sumber inspirasi
- Naskah proklamasi sebagai sumber rujukan
- Naskah proklamasi sebagai kaidah penilai ( norma kritik )
Maksud dari naskah proklamasi sebagai sumber inspirasi adalah secara materiil; nilai-nilai dan asas-asas yang terkandung di dalam naskah dapat dijadikan rujukan atau bahan pembentukan hukum baik oleh legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pada poin yang kedua bisa dijadikan sebagai sumber rujukan yaitu naskah bisa dimaknai ke arah pembahasan tentang keberadaannya sebagai landasan pembentukan hukum positif di Indonesia. Dan yang terkakhir memiliki makna sebagai kaidah alat uji secara etif-filosofis karena secara subtantif nilai-nilai yang terkandung dalam proklamasi atau Pembukaan UUD 1945 tersebut berkarakter nilai filosofis bersamaan dengan nilai-nilai Pancasila di dalamnya.
Akhirnya ada tiga kesimpulan yang dirangkum penulis dalam memaknai “Naskah Proklamasi”, yaitu :
- Makna tentang naskah yaitu teks naskah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan hakikat bangsa yang merdeka adalah bangsa yang bebas dari segala belenggu penjajah, serta bebas dan mandiri untuk mengatur, menentukan dan mengelola negara sesuai dengan tujuan konstitusionalnya.
- Kedua, Secara teoretik yaitu dalam perspektif Stufenbautheorie: Naskah Proklamasi tidak dapat dikualifikasi sebagai Grundnorm (dalam pengertian Kelsen) maupun Staatsfundamentalnorm (dalam pengertian Nawiasky). Untuk kasus di Indonesia, Naskah Proklamasi dapat dikualifikasi sebagai Grundnorm-nya Indonesia, dalam pengertian nilai-nilai, asas-asas dan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Sedangkan Staatsfundamentalnorm-nya Indonesia adalah berupa Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat spirit Proklamasi dan Pancasila. Sebaliknya secara herarkikal, Naskah Proklamasi tidak mendapat tempat dalam tata urutan peraturan perundangundangan yang berlaku.
- Ketiga, Implikasi hukum yang ditimbulkan adalah, Naskah Proklamasi merupakan sumber inspirasi, rujukan dan kaidah penilai (norma kritik) untuk pembuatan peraturan perundang-undangan dan kebijakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.